MAKALAH TENTANG HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM,FIQIH,DAN ILMU JIWA
MAKALAH TENTANG HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM,FIQIH,DAN ILMU JIWA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan Rahmat, Taufiq, dan Hidayah-NYA, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Kalam, Ilmu Filsafat, Ilmu Fiqih, Dan Ilmu Jiwa”.
Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengarahkan kita kejalan yang lurus, yakni addinul Islam.
Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mengikuti proses belajar mengajar antara mahasiswa dan dosen di fakultas STIT SYARIF ABDURRAHMAN SINGKAWANG.
Selama penyusunan dan pembuatan makalah ini,kami banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak dengan penuh keikhlasan. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami mengucapkan terimah kasih yang sebanyak-banyaknya kepada:
1. Hj.Masruraini,s.Ag selaku dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Tasawuf
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Akhirnya kami berharap agar makalah ini dapat diterima, dan bermanfaat bagi kami serta bagi para pembaca pada umumnya. Amin…….
Singkawang, Februari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .........................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................
Latar Belakang..............................................................................
Perumusan Masalah.......................................................................
Tujuan Pembahasan.......................................................................
BAB II Pembahasan......................................................................................
BAB III PENUTUP.....................................................................................
Kesimpulan......................................................................................
Saran................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu tasawuf merupakan rumusan tentang teoritis terhadap wahyu-wahyu yang berkenaan dengan hubungan antara tuhan dengan manusia dan apa yang harus dilakukan oleh manusia agar dapat berhubungan sedekat mungkin dengan tuhan baik dengan pensucian jiwa dan latihan-latihan spritual. Sedangkan ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tetang persoalan tentang akidah dan adapun filsafat adalah rumusan teoritis terhadap wahyu tersebut bagai manusia mengenai keberadaan (esensi), proses dan sebagainya, Seperti proses penciptaan alam dan manusia. Sedangkan ilmu jiwa adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala dan aktivitas kejiwaan manusia.
Maka dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu tasawuf terhadap ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu kioslaman yang lain terhadap ilmu tasawuf.
Maka dalam makalah kami ini kami telah membahas hubungan ilmu tasawuf dengan beberapa ilmu keislaman lainnya, diantaranya: Ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu jiwa, dan ilmu fikih. Dengan tujuan agar kita lebih mampu mengkorelasikan ilmu-ilmu tersebut dan bisa membandingbandingkannya.
Maka dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu tasawuf terhadap ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu kioslaman yang lain terhadap ilmu tasawuf.
Maka dalam makalah kami ini kami telah membahas hubungan ilmu tasawuf dengan beberapa ilmu keislaman lainnya, diantaranya: Ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu jiwa, dan ilmu fikih. Dengan tujuan agar kita lebih mampu mengkorelasikan ilmu-ilmu tersebut dan bisa membandingbandingkannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa hakekat Ilmu Tasawuf itu?
2. Apa hakekat Kalam itu?
3. Apa hakekat Falsafah itu?
1. Apa hakekat Ilmu Tasawuf itu?
2. Apa hakekat Kalam itu?
3. Apa hakekat Falsafah itu?
4. Apa hakekat Fiqih itu ?
5. Apa hakekat Ilmu Jiwa itu ?
6. Bagaimana hubungan Ilmu tasawuf dengan kalam, filsafat, fiqih, dan ilmu
5. Apa hakekat Ilmu Jiwa itu ?
6. Bagaimana hubungan Ilmu tasawuf dengan kalam, filsafat, fiqih, dan ilmu
jiwa ?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu tasawuf
2. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu kalam
3. Mengetahui dan memahami hakekat Filsafat
1. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu tasawuf
2. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu kalam
3. Mengetahui dan memahami hakekat Filsafat
4. Mengetahui dan memahami hakekat fiqih
5. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu jiwa
6. Mengetahui dan memahami hubungan Ilmu tasawuf dengan
6. Mengetahui dan memahami hubungan Ilmu tasawuf dengan
kalam, falsafah, fiqih, dan ilmu jiwa
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. HAKIKAT TASAWUF
Pengertian Tasawuf
Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian atau bersih. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat-sahabat nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang memperdulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Alloh agar memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada di hadirat Tuhan.
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Alloh agar memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada di hadirat Tuhan.
Ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Imam Junaid dari Baghdad (910 M.) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (1258 M.) syekh sufi besar dari Afrika Utara mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (1494 M.)dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: Ilmu yang dengannya dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'." Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809 M): Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnya adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.
Tujuan Tasawuf
Tasawwuf sebagai mana disebutkan dalam artinya di atas, bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan dan intisari dari itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan. Dalam ajaran Tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat dekat dengan Tuhan, melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh maqamat . mengenai jumlah maqomat yang harus di tempuh sufi bebrbeda-beda, Abu Nasr Al- Sarraj menyebutkan tujuh maqomat yaitu tobat, wara, zuhud, kefakiran, kesabaran, tawakkal, dan kerelaan hati. Dalam perjalananya seorang shufi harus mengalami istilah hal (state). Hal atau ahwal yaitu sikap rohaniah yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia tanpa diusahakan olehnya, seperti rasa takut( al- khauf) , ikhlas, rasa berteman, gembira hati, dan syukur. Jalan selanjutnya adalah fana' atau lebur dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Menurut Taftazani seseorang yang bertasawuf mempunyai beberapa ciri yaitu:
Peningkatan moral, seorang sufi memiliki nilai-nilai moral dengan tujuan membersihkan jiwa. Yaitu dengan akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada allah, oleh karena itu, maka tasawuf sangat mengutamakan adab/ nilai baik dalam berhubungan dengan sesama manusia dan terutama dengan Tuhan (zuhud, qonaah, thaat, istiqomah, mahabbah, ikhlas, ubudiyah, dll). Sirna (fana) dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan. Dan Ketenteraman dan kebahagiaan. Sumber Ajaran Tasawuf : Sumber ajaran tasawuf adalah al-Qur'an dan Hadits yang didalamnya terdapat ajaran yang dapat memebawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasarnya dapat dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqoroh ayat 186
B. HAKIKAT ILMU KALAM
Pengertian Ilmu Kalam
Nama lain dari Ilmu Kalam : Ilmu Aqaid (ilmu akidah-akidah), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha Esa-an Tuhan), Ilmu Ushuluddin (Ilmu pokok-pokok agama). Disebut juga 'Teologi Islam'. 'Theos'= Tuhan; 'Logos'= ilmu. Berarti ilmu tentang keTuhanan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran Islam; termasuk di dalamnya persoalan-persoalan ghaib. Menurut Ibnu Kholdun dalam kitab moqodimah mengatakan ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-keprcayaan iman dengan menggunakan dalil fikiran dan juga berisi tentang bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan menyimpang. Ilmu= pengetahuan; Kalam= pembicaraan'; pengetahuan tentang pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan Persoalan terpenting yang di bicarakan pada awal Islam adalah tentang Kalam Allah (Al-Qur'an); apakah azali atau non azali (Dialog Ishak bin Ibrahim dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Dasar Ajarannya; Dasar Ilmu Kalam adalah dalil-dalil fikiran (dalil aqli) Dalil Naqli (Al-Qur'an dan Hadis) baru dipakai sesudah ditetapkan kebenaran persolan menurut akal fikiran. (Persoalan kafir-bukan kafir)…… Jalan kebenaran; Pembuktian kepercayaan dan kebenaran didasarkan atas logika (Dialog Al-Jubbai dan Al-Asy'ari).
C. HAKIKAT FILSAFAT
Pengertian Filsafat
Menurut analisa Al-Farabi filasafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosiphia. Philo berarti cinta dan shopia berarti hikmah atau kebenaran. Menurut Plato, filsuf Yunani yang termashur, murid Scorates dan guru Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada.
Marcus Tullius Cicero politikus dan ahli pidato romawi merumuskan filsafat adalah pengatahuan tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Al Farabi filosuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan brtujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Immanuel Kantyang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa Filsafat itu merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Obyek Filsafat; Dalam filasafat terdapat dua obyek yaitu obyek materia dan obyek formanya. Obyek materianya adalah sarwa yang ada pada garis besarnya dibagi atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia. Sedangkan Obyek formannya adalah usaha mencari keterangan secara radikal ( sedalam-dalamnya) tentang obyek materi filsafat ( sarwa yang ada)
Marcus Tullius Cicero politikus dan ahli pidato romawi merumuskan filsafat adalah pengatahuan tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Al Farabi filosuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan brtujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Immanuel Kantyang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa Filsafat itu merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Obyek Filsafat; Dalam filasafat terdapat dua obyek yaitu obyek materia dan obyek formanya. Obyek materianya adalah sarwa yang ada pada garis besarnya dibagi atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia. Sedangkan Obyek formannya adalah usaha mencari keterangan secara radikal ( sedalam-dalamnya) tentang obyek materi filsafat ( sarwa yang ada)
D. HAKIKAT ILMU FIQIH
PENGERTIAN FIQIH
Fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang bisa menjadi teropong keindahan dan kesempurnaan Islam. Dinamika pendapat yang terjadi diantara para fuqoha menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas dan berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari'ah yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lima aksioma, yakni; Agama, akal, jiwa, harta dan keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan tujuan yang jelas, sehingga layak untuk exis sampai akhir zaman.
Pengertian Fiqh
Pengertian Fiqh
Fiqh menurut Etimologi
Fiqh menurut bahasa berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku." ( Thaha:27-28)
"Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku." ( Thaha:27-28)
Pengertian fiqh seperti diatas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud: 91, Surah At Taubah: 122, Surah An Nisa: 78
Fiqh dalam terminologi Islam
Dalam terminologi Islam, fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yang dipahami oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di genersi kemudian, karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqh menurut versi masing-masing generasi;
Pengertian fiqh dalam terminologi generasi Awal
Dalam pemahaman generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi'in dst.), fiqh berarti pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh, sebagaimana tersebut dalam Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW:
"Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih." (HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah)
Ketika mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:
"Ya Allah, berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir." (HR Bukhari Muslim)
Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata:
"Para ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari)
Dan ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan khutbah yang penting pada para jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf mengusulkan untuk menundanya, karena dikalangan jama'ah bercampur sembarang orang, ia berkata:
"Khususkan (saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)." (HR Bukhari)
Makna fiqh yang universal seperti diatas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi'in dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku akidahnya dengan "al Fiqh al Akbar." Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dengan makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:
"Dan akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur'an dan menyia-nyiakan norma-normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang memberi, mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan hawa nafsunya sebelum beramal." (HR Malik)
Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas, Shadru al Syari'ah Ubaidillah bin Mas'ud menyebutkan: "Istilah fiqh menurut generasi pertama identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau) fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir saja."
Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-orang yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i'tikad dan praktek, karenanya penamaan ilmu furu' sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru."
Definisi tersebut diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al Bashri: "Orang faqih itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara', menahan diri dari privasi kaum muslimin, ta'afuf terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama'ahnya."
"Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih." (HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah)
Ketika mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:
"Ya Allah, berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir." (HR Bukhari Muslim)
Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata:
"Para ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari)
Dan ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan khutbah yang penting pada para jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf mengusulkan untuk menundanya, karena dikalangan jama'ah bercampur sembarang orang, ia berkata:
"Khususkan (saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)." (HR Bukhari)
Makna fiqh yang universal seperti diatas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi'in dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku akidahnya dengan "al Fiqh al Akbar." Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dengan makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:
"Dan akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur'an dan menyia-nyiakan norma-normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang memberi, mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan hawa nafsunya sebelum beramal." (HR Malik)
Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas, Shadru al Syari'ah Ubaidillah bin Mas'ud menyebutkan: "Istilah fiqh menurut generasi pertama identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau) fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir saja."
Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-orang yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i'tikad dan praktek, karenanya penamaan ilmu furu' sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru."
Definisi tersebut diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al Bashri: "Orang faqih itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara', menahan diri dari privasi kaum muslimin, ta'afuf terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama'ahnya."
Pengertian fiqh dalam terminologi Mutaakhirin
Dalam terminologi mutakhirin, Fiqh adalah Ilmu furu' yaitu:"mengetahui hukum Syara' yang bersipat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci.
Syarah/penjelasan definisi ini adalah:
- Hukum Syara': Hukum yang diambil yang diambil dari Syara'(Al-Qur'an dan
As-Sunnah), seperti; Wajib, Sunah, Haram, Makruh dan Mubah.
- Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan.
- Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa Aqiimus
- Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan.
- Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa Aqiimus
sholaah", bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul
Fiqh.
Dengan definisi diatas, fiqh tidak hanya mencakup hukum syara' yang bersifat dharuriah (aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya hamr, dsb. Tetapi juga mencakup hukum-hukum yang dhanny, seperti; apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yang harus dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya saja?
Lebih spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang furu dengan berlandaskan hujjah dan argumen.
Dengan definisi diatas, fiqh tidak hanya mencakup hukum syara' yang bersifat dharuriah (aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya hamr, dsb. Tetapi juga mencakup hukum-hukum yang dhanny, seperti; apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yang harus dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya saja?
Lebih spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang furu dengan berlandaskan hujjah dan argumen.
E. HAKIKAT ILMU JIWA
PEGERTIAN ILMU JIWA
Ilmu jiwa (psikologi) adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku dan proses mental yang terjadi pada manusia. Dengan kata lain, ilmu ini meneliti tentang peranan yang dimainkan dalam perilaku manusia. Psikologi meneliti tentang suara hati (dhamir), kemauan (iradah), daya ingat, hafalan, prasangka (waham), dan kecenderungan-kecenderungan (awathif) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa yang menggerakkan perilaku manusia.
Ilmu jiwa mengarahkan pembahasan pada aspek batin yang di dalam Qur’an diungkapkan dengan istilah insan. Dimana istilah ini berkaitan erat dengan kegiatan manusia yaitu kegiatan belajar, tentang musuhnya, penggunaan waktunya, beban amanah yang dipikulkan, konsekuensi usaha perbuatannya, keterkaitan dengan moral dan akhlak, kepemimpinannya, ibadahnya dan kehidupannya di akhirat. Quraish Shihab mengemukakan bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik dan sebaliknya. Berarti manusia memiliki kedua potensi tersebut. Beliau mengutip ayat yang berbunyi:
“Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk”) (QS. Al-Balad, 90: 10)
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (QS. As-Syams: 7-8)
Dalam diri manusia terdapat potensi rohaniah yang cenderung kepada kebaikan dan keburukan. Potensi rohaniah secara lebih dalam dikaji dalam ilmu jiwa. Untuk mengembangkan ilmu akhlak kita dapat memanfaatkan informasi yang diberikan oleh ilmu jiwa. Di dalam ilmu jiwa terdapat informasi tentang perbedaan psikologis yang dialami seseorang pada setiap jenjang usianya.
F. Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Kalam, Ilmu Filsafat, Ilmu Fiqih, Dan Ilmu Jiwa
Ø HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM
Ilmu kalam adalah disiplin ilmu keIslaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh rasa rohaniah. Sebagai contoh, ilmu kalam menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’, Bashar, Kalam, Iradah, Qudrah, Hayat, dan sebagainya. Namun, ilmu kalam tidak menjelaskan bagaimana seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya, bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an, bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari kekuasaan Allah ?
Pernyataan-pernyataan diatas sulit terjawab hanya dengan berlandaskan pada ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu Tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan bagaimana merasakan tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang diwajibkan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman. Sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut.
1. Sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam.
- Berfungsi sebagai pengendali ilmu Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
- Berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional disamping muatan naqliyah, ilmu kalam dapat bergerak kearah yang lebih bebas. Disinilah ilmu Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam terkesan sebagai dialektika keIslaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan hati.
Andaikata manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna, kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada rasa sombong dan membanggakan diri. Kalau saja manusia sadar bahwa Allahlah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian para kaum sufi). Dalam ilmu Tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu kalam terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.
Ø HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU FALSAFAH
Biasanya Tasawuf dan filsafah selalu dipandang berlawanan. Ada juga anggapan bahwa pencarian jalan Tasawuf mengharuskan pencelaan filsafat, tidak hanya berupa timbal balik dan saling mempengaruhi, bahkan asimilasi (perpaduan) dan hubungan ini sama sekali tidak terbatas pada kebencian dan permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif (dzawqi).
Hubungan antara Tasawuf dan filsafat, yaitu :
- Bentuk hubungan yang paling luas antara Tasawuf dan filsafat tentu saja adalah pertentangan satu sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-karya al-Ghazali bersaudara, Abu hamid dan Ahmad. Dan penyair sufi besar seperti Sana’I, Athar, dan Rumi. Kelompok sufi ini hanya memperhatikan aspek rasional dari filsafat, dan setiap kali berbicara tentang intelek, mereka tidak mengartikan intelek dalam arti mutlaknya, namun mengacu kepada aspek rasional intelek (akal). Athar juga memahami filsafat hanya sebagai filsafat peripatetic yang rasionalistik, dan menekankan bahwa hal itu tidak boleh dikelirukan dengan misteri ilahiah dan pengetahuan ilahiah, yang merupakan usaha puncak pensucian jiwa dibawah bimbingan spiritual para guru sufi. Intelek tidak sama dengan hadist Nabi dan falsafah tidak sama dengan teosofi (hikmah) dalam makna Qur’aninya. Matsnawi adalah sebuah Masterpiece filsafat.
- Hubungan antara Tasawuf dan filsafat tampak dalam munculnya bentuk khusus yang terjalin erat dengan filsafat. Meskipun bentuk tasawuf ini tidak menerima filsafat peripatetic dan mazhab-mazhab filsafat lain yang seperti itu, namun ia sendiri tercampur dengan filsafat atau teosofi (hikmah) dalam bentuknya yang paling luas. Dalam mazhab Tasawuf itu, intelek sebagai alat untuk mencapai realitas tentang yang mutlak dengan memperoleh kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, dalam tasawuf berkembang satu jenis teosofi (ilmu ilahi) yang tidak hanya datang untuk menggantikan filsafat didunia Arab, tapi di Persia ia juga amat mempengaruhi jika bukan menggantikan filsafat dan kemudian secara amat efektif menggabungkan filsafat dan Tasawuf, bahkan mengganti nama Tasawuf menjadi Irfan (gnosis,makrifat) pada periode safawi. Penentangan terhadap filsafat masih tetap tampak, tapi penentangan ini sebenarnya muncul dalam kaitannya dengan istilah falsafah dan rasionalisme. Hubungan Tasawuf dan filsafah berbeda dari apa yang diamati dalam tasawuf yang didominasi cinta, seperti pada Athar dan lainnya.
- Hubungan antara Tasawuf dan filsafat ditemukan dalam karya-karya para sufi yang sekaligus juga filosof, Yang telah berusaha untuk merujuk tasawuf dan filsafat. Afdhaluddin kasyani, Quthbuddin syirazi, Ibd Turkah al-Isfahani, dan Mir Abul Qosim findiriski, orang-orang ini seluruhnya adalah sufi yang berjalan pada jalan spiritual dan telah mencapai maqam spiritual, dan beberapa diantara mereka terdapat para wali, tetapi pada saat yang sama secara mendalam memahami filsafat dan cukup mengherankan, beberapa diantara mereka lebih tertarik pada filsafat peripatetic dan rasionalistik daripada filsafat intuitif (dzawqi), sebagaimana dapat diamati dalam kasus Mir Findiriski yang amat mendalami As-Syifanya Ibnu Sina. Diantara kelompok ini, Afdhaluddin Kasyani memegang kedudukan yang unik. Ia tidak hanya salah satu sufi terbesar yang hingga hari ini mouseleumnya di Maqam Kasyani menjadi tempat Ziarah, baik orang-orang yang awam maupun orang-orang terpelajar, tetapi ia juga dianggap sebagai salah satu filosof Persia terbesar yang sumbangannya bagi pengembangan bahasa filsafat Persia tak tertandingi. Karya-karya filsafatnya dalam logika, teologi, ataupun dalam ilmu-ilmu alam ditulis dalam bahasa Persia yang jelas dan fasih, dan merupakan Masterpiece dalam bahasa ini. Ia tidak hanya menunjukkan dengan jelas wawasan tasawuf dalam syair-syairnya, namun dalam hal logika dan filsafat yang paling ketat sekalipun. Figur besar lain seperti Quthbuddin al-Syirazi, yang dalam masa remajanya bergabung dengan para sufi dan juga menulis karya besar dalam filsafat peripatetic dalam bahasa Persia, Durrat al-Tajj, lalu bin Turkah Isfahani, yang Tamhid al-Qawaidnya merupakan Masterpiece filsafat sekaligus Tasawuf, dan Mir Abul Qosim Findiriski, yang menjadi komentator karya metafisika Hindu penting, Yoga Vaisithsa adalah sufi dan ahli makrifat yang kepadanya banyak mukjizat dinisbatkan. Mereka semua sesungguhnya adalah para pengikut mazhab Afdhluddin Kasyani, sejauh menyangkut upaya pemantapan hubungan antara Tasawuf dan Filsafat.
- Kategorisasi umum kita mengenai hubungan Tasawuf dengan filsafat, mencakup para filosof yang mempelajari atau mempraktekan Tasawuf. Yang pertama dari kelompok ini adalah Al-Farabi, yang mempraktekan Tasawuf dan bahkan telah mengubah musik yang dimainkan dalam pertemuan Sama’ pada sufi, mutiara hikmah yang dinisbatkan kepadanya sangatlah penting. Karena, pada dasarnya, inilah buku mengenai filsafat maupun makrifat dan hingga kini diajarkan di Persia bersama komentar-komentar makrifati.
Ø HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU FIQIH
Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari Thaharah, kemudian persoalan-persoalan kefiqihan lainnya. Namun, pembahasan ilmu fiqih tentang thaharah atau yang lainnya secara tidak langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Persoalannya sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqih dalam persoalan-persoalan tersebut ? Ilmu Tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini berhasil memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud adalah ikhlas dan khusyuk berikut jalannya masing-masing. Bahkan ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Akhirnya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan “Barang siapa mendalami fiqih, tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Dan Barang siapa melakukan ke-2 nya, berarti ia melakukan kebenaran”. Tasawuf dan fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara ke-2 nya, berarti disitu terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fiqih, atau seorang ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli sufi harus bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih. Tegasnya, seorang fiqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Ini menjelaskan bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu Fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling melengkapi.
Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud, seperti ikhlas dan khusu’ berikut jalannya masing-masing. Bahkan, ilmu ini dapat menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hilim-hukum fiqih. Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniyah.
Makrifat secara rasa terhadap Allah melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari sinilah dapat diketahui kelirunya pendapat yang menuduh perjalanan menuju Allah (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum-hukum Allah.
Allah SWT sendiri telah berfirman:
Makrifat secara rasa terhadap Allah melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari sinilah dapat diketahui kelirunya pendapat yang menuduh perjalanan menuju Allah (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum-hukum Allah.
Allah SWT sendiri telah berfirman:
Artinya: ”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Junaid – seperti dikutip Sa’id Hawwa’ – menuduh sesat golongan yang menjadikan whusul (mencapai) Allah sebagi tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’at. Lebih tegas ia mengatakan, Betul mereka sampai, tetapi ke neraka saqar”.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan, ”barangsiapa mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tetapi belum mendalami fikih berarti aia zindiq; Dan barangsiapa melakukan keduanya, berarti ia ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).” tasawufdan fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti ia terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fikih atau menjauhi fikih, atau seorang ahli fikih tidak mengamalkan ilmunya.
Jadi, seorang ahli fikih harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf pun harus mendalmi dan mengikuti aturan fikih. Tegasnya, seorang fakih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufu pun harus m,engetahui aturan-aturan hukum dan sekligus mengamalkannnya. Syeikh A-Rifa’i berkata, ”Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi dalah satu. ”Pernyataan Ar-Rifa’i diatas perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang ”terkelabui” selalu menghujat setiap orang dengan perkataan, ”orang yang tidak memiliki syaikh, maka syaikhnya adalah setan.” Ungkapan ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk seikhnya; atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu bgaimana seharusnya mendudukkan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.
Para pengamat Ilmu Tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan ilmu tasawuf dengan fikih adalah Al-Ghazali. Kitab Ihya’ Ulumuddinnya dapat dipandang sebagai kitab yang dapat mewakili dua disiplin ilmu ini, disamping disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan filsafat. Paparan diatas telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf mengakui bahwa tasawuf dan ilmu fikih adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik – lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Junaid – seperti dikutip Sa’id Hawwa’ – menuduh sesat golongan yang menjadikan whusul (mencapai) Allah sebagi tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’at. Lebih tegas ia mengatakan, Betul mereka sampai, tetapi ke neraka saqar”.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan, ”barangsiapa mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tetapi belum mendalami fikih berarti aia zindiq; Dan barangsiapa melakukan keduanya, berarti ia ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).” tasawufdan fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti ia terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fikih atau menjauhi fikih, atau seorang ahli fikih tidak mengamalkan ilmunya.
Jadi, seorang ahli fikih harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf pun harus mendalmi dan mengikuti aturan fikih. Tegasnya, seorang fakih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufu pun harus m,engetahui aturan-aturan hukum dan sekligus mengamalkannnya. Syeikh A-Rifa’i berkata, ”Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi dalah satu. ”Pernyataan Ar-Rifa’i diatas perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang ”terkelabui” selalu menghujat setiap orang dengan perkataan, ”orang yang tidak memiliki syaikh, maka syaikhnya adalah setan.” Ungkapan ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk seikhnya; atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu bgaimana seharusnya mendudukkan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.
Para pengamat Ilmu Tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan ilmu tasawuf dengan fikih adalah Al-Ghazali. Kitab Ihya’ Ulumuddinnya dapat dipandang sebagai kitab yang dapat mewakili dua disiplin ilmu ini, disamping disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan filsafat. Paparan diatas telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf mengakui bahwa tasawuf dan ilmu fikih adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik – lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.
Ø HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU JIWA
Dalam pembahasan Tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam Tasawuf tersebut adalah terciptanya keserasian antara ke-2 nya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dkategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak jalek. Dalalm pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku insani pula. Orang yang sehat mentalnya adalah yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup, karena orang-orang inilah yang dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawa kebahagiaan dirinya dan orang lain. Disamping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas, terhindar dari kegelisahan-kegelisahan dan gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.
Semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual kerah yang lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik.
Manusia sebagai makhluk Allah memiliki jasmani dan rohani. Salah satu unsur rohani manusia adalah hati (Qalbu) disamping hawa nafsu. Karena itu penyakit yang dapat menimpa mansia ada dua macam, yaitu penyakit jasmani dan penyakit rohani atau jiwa atau qalbu.
Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia itu ada penyakit, Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Dengan tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (psikologis) berupa prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri, dengki, takabbur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan tuhan bahwa berusaha untuk berada dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa.
Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur dan sebagainya.
Tasawuf juga selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauhmana hubungan perilaku yang diperaktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan jelek ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.
Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia itu ada penyakit, Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Dengan tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (psikologis) berupa prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri, dengki, takabbur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan tuhan bahwa berusaha untuk berada dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa.
Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur dan sebagainya.
Tasawuf juga selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauhmana hubungan perilaku yang diperaktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan jelek ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang tergantung pada jenis jiwa yang berkuasa pada dirinya. Jika yang berkuasa atas dirinya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, prilaku yang tampil adalah prilaku hewani dan nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah prilaku insani pula.
Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spritual dan kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya dibumi.
Dengan demikian, pada aspek lain psikologi juga kita temukan masih menggunakan teori dan metodologi psikologi modern. Dan sedangkan tasawuf lepas sama sekali dari teori dan metodologi psikologi modern. Inilah yang membedakan antara tasawuf dengan psikologi Islam.
Namun pada sisi lain tasawuf juga memberi kontribusi besar dalam pengembangan Psikologi Islam, karena tasawuf merupakan bidang kajian Islam yang membahas jiwa dan gejala kejiwaan. Unsur Islam dalam psikologi Islam akan banyak berasal dari tasawuf. Dan hanya sedikit berbeda antara tasawuf dengan ilmu kejiwaan adalahdari metode sistem pandangannya terhadap mempelajari kejiwaan manusia. Jika kita lihat tasawuf melihat manusia dari sisi internalnya artinya langsung mempelajari isi dan kondisi hati ataupun kejiwaan manusia bagaimana seharusnya. Sedangkan ilmu jiwa ataupun yang sering dikenal dengan psikologi mempelajari dan mendeskripsikan kejiwaan manusia dari eksternal manusia yaitu dengan mempelajari hal-hal yang tampak dari sikap dan prilaku manusia apa adanya karena menurutnya dari mempelajari prilakunya kita dapat menggambarkan bagaimana kondisi kejiwaannya.
BAB III
· KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
a) Hubungan Ilmu Tasawuf dengan ilmu kalam adalah Kebenaran dalam Tasawuf berupa tersingkapnya (kasyaf) Kebenaran Sejati (Allah) melalui mata hati. Tasawuf menemukan kebenaran dengan melewati beberapa jalan yaitu: maqomat, hal (state) kemudian fana'.
Sedangkan kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (al-Qur'an & Hadis)..
Sedangkan kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (al-Qur'an & Hadis)..
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman. Sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut.
Sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam.
b) Hubungan Ilmu Tasawuf dengan ilmu filsafat, Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif (dzawqi)..
c) Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik – lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.
d) Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa adalah Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antar keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan prilaku yang diperaktekan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi, dari sini terlihatlah perbuatan itu berakhlak baik atau sebaliknya.
Dari uraian diatas kami dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa ilmu tasawuf adalah suatu ilmu yang sangat penting dimiliki manusia karena dengan ilmu tasawuf jiwa kita lebih tenang dan damai. Dan bertasawuf bukanlah harus dengan bertarikat tapi hakikat ilmu tasawuf adalah pembinaan jiwa kerohanian sehingga bisa berhubungan dengan Allah sedekat mungkin.
3.2 SARAN
Maka dengan begitu kita semua bisa bertasawuf walaupun apapun berprofesinya, karena inti tasawuf adalah terisinya jiwa dengan akhlak yang baik dan kesucian jasmani dan rohani dari akhlak yang tercela. Untuk itu menurut kami orang yang bisa menjaga dirinya dari kedua hal tersebut juga sudah dinamakan hidup bertasawuf.
DAFTAR PUSTAKA :
-http://irpanharahap.blogspot.com/2011/07/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-lainnya.html
-http://ajiraksa.blogspot.com/2011/05/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-kalam-ilmu.html
http://www.jadilah.com/2011/11/hubungan-ilmu-kalam-tasawuf-dan.html
-http://www.cliquers-transetter.blogspot.com/2012/02/makalah-tentang-hubungan-tasawuf-dengan.html
-http://www.cliquers-transetter.blogspot.com/2012/02/makalah-tentang-hubungan-tasawuf-dengan.html
0 komentar:
Posting Komentar